OPINI
*Penulis: Natalie J. Tangkepayung (Mahasiswa Magister Biologi Konservasi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih) dan Henderina Josefina Keiluhu (Dosen Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih)
PAPUA, juga dikenal sebagai Tanah Papua, memiliki peluang besar yang sering kali luput dari perhatian pembangunan nasional di tengah krisis iklim global dan dorongan untuk transisi ke energi bersih. Ini adalah pusat keanekaragaman hayati Indonesia dan memiliki potensi energi terbarukan yang besar.
Ironisnya, akses energi masih terbatas di sebagian besar wilayah Papua, terutama di wilayah pedalaman dan pegunungan. Keadilan sosial, geografis, dan spasial adalah aspek penting dari ketimpangan energi ini.
Di pedalaman Papua, harga bahan bakar fosil seperti Pertalite dan Solar dapat mencapai beberapa kali lipat dibandingkan di daerah lain. Namun, infrastruktur distribusi energi dibatasi oleh medan yang luas dan biaya logistik yang tinggi, sehingga banyak kampung di pedalaman belum memiliki sumber energi untuk listrik.
Energi hijau, atau energi terbarukan, adalah energi yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui seperti matahari, angin, dan air. Energi Baru Terbarukan atau energi hijau dapat menjadi solusi efektif untuk menghadirkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan di Tanah Papua.
Walau demikian, menurut Laporan Kinerja Ditjen EBTKE Kementian ESDM Tahun 2024, hambatan dalam proses pengadaan pembangkit listrik tenaga EBT yang memerlukan waktu relatif lama mengakibatkan proses konstruksi terhambat serta berpotensi memperlambat realisasi investasinya.
Luas Papua sekitar 418.707,7 km² dengan topografi yang sangat bervariasi dari perairan dan pesisir, dataran rendah hingga ketinggian alpine di 4.884 m dpl ini merupakan peluang dalam pendekatan teknologi sumber energi sesuai dengan lanskapnya.
Dimana energi surya cocok dikembangkan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sementara mikrohidro sangat relevan di kawasan pegunungan tengah yang memiliki banyak sungai deras dan curam.
Sehingga kedua jenis energi ini tidak hanya layak secara teknis, tetapi juga minim dampak kepada lingkungan hidup seperti polusi dari emisi yang dihasilkan, disamping itu teknologinya dapat ditransportasikan sampai ke daerah pedalaman Papua.
Bila dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup di Papua, dengan memanfaatkan sumber energi hijau akan mengurangi tekanan terhadap hutan akibat ketergantungan masyarakat pada kayu bakar (walaupun jumlahnya tidak besar) dan tentu saja kepada bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas rumah kaca dan mencemari udara sekitar.
Penerapan sistem energi bersih ini dapat diintegrasikan dengan pendekatan konservasi berbasis masyarakat, di mana warga menjadi penjaga ekosistem sekaligus penerima manfaatnya. Sebagai contoh, Proyek Mikrohidro dapat dihubungkan dengan perlindungan sumber air atau hulu sungai dan kawasan tangkapan air di wilayah yang dialiri.
Energi hijau juga memperkuat prinsip land-sparing, yang mencegah ekspansi lahan untuk pertambangan atau perkebunan energi yang dapat mengancam kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Conservation Value (HCV).
Pembangunan sektor energi di provinsi diatur dalam Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P). Ini merupakan amanat Undang-undang No. 30 Tahun 2007 tentang energi, dimana di dalam RUED-P optimalisasi sumber-sumber energi baru dan terbarukan atau energi hijau menjadi prioritas untuk dikembangkan di wilayah Papua.
Saat ini di Tanah Papua, baru Provinsi Papua Barat yang sudah punya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2024 tentang Rencana Umum Energi Daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2024-2050.
Sementara itu, ada lima pemerintah provinsi yang sedang dalam proses penyusunan dan penetapan legislasi Rencana Umum Energi Daerah Provinsi (RUED-P). Dokumen RUED provinsi ini menjadi acuan penting dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan seperti RTRW, RPJPD dan RPJMD di provinsi.
Disamping itu, pengembangan energi hijau di Papua perlu memperhatikan keterlibatan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat. Penerapan prinsip “Free, Prior, and Informed Consent” (FPIC) dalam tiap proyek di daerah wajib dilakukan agar pembangunan tidak berdampak konflik sosial.
Selain itu pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat atau mitra pembangunan, perlu menyusun model kolaborasi yang menghormati struktur sosial setempat, sambil memperkuat kapasitas masyarakat, dan menjamin keberlanjutan sistem energi ini dalam jangka panjang.
Pada akhirnya, Papua memiliki segala syarat untuk menjadi model nasional dalam pengembangan energi hijau atau energi baru terbarukan ini sambil tetap mempertahankan kelestarian alamnya.
Untuk itu bagi enam pemerintah provinsi di Tanah Papua, ini adalah peluang yang akan terlaksana dengan baik jika dilandasi oleh kebijakan pimpinan daerah yang melibatkan kearifan tradisional masyarakat adat di Papua, dan penghormatan terhadap hubungan masyarakat adat dengan alamnya.
Energi hijau di Papua bukan hanya tentang listrik, tetapi tentang keadilan ekologis dan masa depan pembangunan rendah karbon Indonesia.***
*) Isi opini atau artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya, bukan menjadi tanggungjawab redaksi KabarPapua.co.