Menu

Mode Gelap
Antisipasi 1 Desember, TNI Polri Patroli 2×24 jam di Kota Jayapura Pesan Sejuk Polri di Deklarasi Pemilu Ceria Tanah Papua Gedung Perpustakaan SMPN 5 Sentani Terbakar Hibah Pilkada Jayapura Cair 10 Persen, Deposit Kas Daerah Rp23 Miliar Disorot 1 Desember di Jayapura: Polisi Amankan Ratusan Botol Miras Ilegal, Penjual Ngacir

RAGAM · 1 Jun 2025 22:13 WIT

Yayasan Humi Inane akan Meluncurkan Film Dokumenter tentang Perempuan


					Yayasan Huma Inane dan Tim Produksi Film Dokumenter saat berkumpul mempersiapkan peluncuran dua film dokumenter yang akan tayang pada Juni 2025. (KabarPapua.co/Agris Wistrijaya)
Perbesar

Yayasan Huma Inane dan Tim Produksi Film Dokumenter saat berkumpul mempersiapkan peluncuran dua film dokumenter yang akan tayang pada Juni 2025. (KabarPapua.co/Agris Wistrijaya)

KABARPAPUA.CO, Wamena – Di bawah naungan Forum Kerjasama Lembaga Swadaya Masyarakat (Foker LSM) Papua, Yayasan Humi Inane akan meluncurkan dua film dokumenter tentang perempuan, yakni: “Perempuan, Harapan dan Kehidupan” dan “Potret Gelap Pendidikan di Pinggiran Kota Wamena”.

“Kedua film dokumenter yang kami buat ini di produksi selama satu bulan dan rencananya akan ditayangkan awal bulan Juni melalui aplikasi YouTube resmi dari Foker LSM Papua dan YouTube Yayasan Humi Inane,” kata Ketua Yayasan Humi Inane, Margareta Wetipo saat jumpa pers di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Menurut Margareta, isu yang diangkat pada film dokumenter ini, tentang perempuan, kekerasan, dan pendidikan. Namun juga mengangkat isu ekonomi, karena perempuan banyak bekerja pada hutan, kebun, dan tanah.

“Tapi saat ini, tanah mereka terancam diambil, guna kepentingan pembangunan. Sehingga mereka anggap tanah yang mereka pakai berkebun untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka saat ini, sudah semakin menipis,” jelas Margareta.

Margareta juga mengatakan, perempuan di Papua Pegunungan lebih banyak bekerja di kebun dan memelihara ternak, karena melalui itu mereka bisa menghidupi keluarga mereka.

“Sistem budaya patriaki yang kuat selam ini, dimana perempuan dianggap tak punya hak atas tanah dan hutan. Tapi melalui film dokumenter ini, banyak cerita dituangkan kelompok perempuan yang ternyata tanah dan hutan sebenarnya juga adalah hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam,” terangnya.

Sebenarnya, kata Margareta, banyak isu yang bisa diangkat dalam pembuatan film dokumenter, tapi untuk saat ini mereka fokus mengangkat isu ekonomi, kekerasan dan pendidikan. “Pembuatan dua film dokumenter ini dilakukan di 3 distrik, yakni Wouma, Walesi, dan Musatfak,” terangnya.

Sedangkan untuk pembuatan film ini, kata Margareta, digarap langsung oleh anak-anak muda yang sudah mendapatkan pelatihan dari Yayasan Humi Inane. Juga melibatkan kaum laki-laki sebagai narasumbernya dan proses produksi film dokumenter ini berdurasi 120 menit.

“Kami berharap dengan adanya film documenter ini, dapat memberikan pesan-pesan terkait perempuan yang selama ini terabaikan, terutama kepada pemerintah dan masyarakat luas,” jelas Margareta.

Salah satu akademis perempuan dan lingkungan, yang juga menyaksikan langsung pembuatan film dokumenter ini, Marlince Siep mengatakan, selain mengangkat isu perempuan dan ekonomi, tapi juga mengangkat isu lingkungan, seperti contohnya saat ini dampak lingkungan di Wouma, yakni pencemaran dari Kali Uwe.

Menurut Marlince, film ini melalui banyak proses mulai dari wawancara hingga analisis tentang lingkungan, serta analisis mengenai budaya perempuan Baliem, yang memelihara babi (wam) dan berkebun untuk memberi makan babi peliharaannya.

“Lahan-lahan yang diangkat dalam film dokumenter ini, adalah lahan yang digunakan sekian suku dari Lanny, Nduga, Yali, bahkan saudara-saudara dari Paniai. Jika lahan-lahan ini dibuka untuk pembangunan, maka mama-mama (kaum perempuan) mau kerja kebun di mana,” terang Marlince.

Dalam film ini, kata Marlince, banyak memberikan pesan dan kesan, serta memberi semangat bagi kaum perempuan dan mendorong perempuan untuk bersuara. Sehingga tidak ada lagi pengambilan tanah dalam jumlah yang besar, apalagi lahan-lahan yang dulunya memang merupakan lahan perkebunan. ***(Agris Wistrijaya)

Artikel ini telah dibaca 30 kali

badge-check

Penulis Berita

Baca Lainnya

Bayar Sekolah Pakai Sampah, 32 Siswa PAUD Binaan CSR AFT Lulus Membanggakan

12 June 2025 - 21:28 WIT

Teliti Mitigasi Bencana di Masyarakat Adat, Istri Gubernur Papua Selatan Raih Gelar Doktor “Cumlaude”

6 June 2025 - 00:26 WIT

Paulus Waterpauw Gelar FGD Pancasila di Tengah Polarisasi Digital

19 May 2025 - 17:44 WIT

Ribuan Warga Maluku di Kota Jayapura Meriahkan Puncak Perayaan HPN Kapitan Pattimura

16 May 2025 - 10:45 WIT

Peringati HPN Kapitan Pattimura ke-208 di Papua, Ribuan Warga Maluku Gelar Pawai Obor

15 May 2025 - 13:55 WIT

Dori Resort, Wisata Alam Berkonsep Private Beach di Nabire Papua Tengah

14 May 2025 - 16:05 WIT

Trending di RAGAM