KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Edukasi pengelolaan sampah anorganik memang harus dimulai sejak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar kesadaran pengelolaan sampah anorganik tumbuh sejak usia anak-anak.
Seperti yang dilakukan 11 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Fattahul Muluk Papua, Jumat 26 Juli 2024.
Mereka mengajarkan siswa-siswi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Fatah Abepantai membuat kolase dari limbah sampah anorganik atau lebih tepatnya, pemanfaatan limbah sampah plastik.
“Tujuannya, untuk membangun kesadaran sejak dini tentang pemanfaatan sampah sekaligus mengasah kreatifitas mereka,” ungkap Luluk Mutoharoh, salah satu peserta KKN yang mengkoordinir kegiatan tersebut.
Luluk, bersama 10 mahasiswa lainnya awalnya mensosialisasikan perbedaan sampah organik dan anorganik. Sosialisasi disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami siswa setingkat SD.
Mereka kemudian membagi siswa dalam beberapa kelompok dan meminta untuk mempraktikkan pembuatan kolase. Seni Kolase dari bahan limbah sampah plastik, jika di tangan orang tepat dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit.
“Jadi, hari sebelumnya, kami lebih dulu meminta mereka (para siswa) untuk membawa sampah plastik, nah jadi mereka membawa plastik dari cemilan misalnya, atau sampah plastik lainnya. Nah, hari ini kami praktikan membuat kolase dari sampah plastik,” ujar Luluk.
Kolase sendiri, menurut Luluk, adalah seni rupa yang dibuat dengan menempel bahan-bahan dari sampah plastik pada media gambar, sehingga menghasilkan karya seni yang indah.
“Yang saya baca, kolase sendiri mampu melatih motorik anak, melatih koordinasi mata dan tangan untuk melakukan kegiatan yang rumit. Selain itu meningkatkan kreativitas, meningkatkan kesabaran dan melatih kemampuan mengenal warna. Lalu mengasah kecerdasan spasial hingga meningkatkan rasa percaya diri anak,” katanya lagi.
Pihak sekolah menyambut baik upaya mereka. Masing-masing kelas diutus 5 orang siswa untuk mengikuti kegiatan pembuatan kolase.
Kegiatan membuat kolase sendiri tak menyita banyak waktu para siswa. Mereka diberi kebebasan untuk berkreasi dengan tidak membebani agar tak merasa jenuh. *** (Faisal Narwawan)