KABARPAPUA.CO, Serui – Peringatan Hari Pahlawan Nasional 2025 menjadi momentum penuh makna bagi Henry Koirewoa. Pria berusia 88 tahun asal Serui ini adalah salah satu anggota Tentara Cenderawasih Cadangan yang dibentuk di Biak pada tahun 1957.
Henry turut berjuang pada masa awal pembebasan Papua hingga Operasi Trikora. Henry mengenang masa mudanya ketika ia masih menjadi siswa jurusan teknik di Maskapai Minyak Belanda di Sorong. Namun, perjalanan hidupnya berubah ketika situasi politik mulai memanas di tanah Papua.
“Waktu itu, saya sekolah teknik di Maskapai Minyak di Sorong. Tapi karena situasi tidak aman dan TNI mulai masuk ke Sorong, maskapai menutup sementara kegiatan. Kami semua dikirim pulang ke kampung masing-masing,” kenangnya.
Meski demikian, semangat kebersamaan yang terjalin selama di Sorong membuat Henry dan rekan-rekannya tetap berjuang bersama. Di antara mereka, muncul gagasan untuk membentuk organisasi bernama Tentara Cenderawasih Cadangan yang dipimpin David Woisiri, Frans Sikowai, dan sejumlah pejuang muda lainnya.
Henry menuturkan, kelompok mereka sempat menjadi incaran pasukan Belanda. “Pernah datang kapal perang Belanda untuk menangkap teman-teman kami. Beberapa ditangkap dan dibuang ke Tanah Merah, Boven Digoel. Mereka dihukum dengan kerja paksa memperluas penjara,” ujarnya.

Henry sendiri sempat menumpang kapal induk Karel Doorman dari Belanda yang singgah di perairan Papua. Ia kemudian memutuskan kembali ke Serui setelah kakaknya memintanya pulang.
“Saya waktu itu dicari-cari, karena saya pernah menjadi radio telegrafis dan dianggap tahu banyak rahasia Belanda. Itu sebabnya saya melarikan diri ke Serui,” katanya.
Selain dikenal sebagai pejuang, Henry juga dikenal fasih berbahasa Indonesia dan Belanda. Ia mengaku perjuangannya berlangsung sejak 1956 hingga masa Operasi Trikora.
Kini di usia senjanya, Henry berpesan kepada generasi muda agar menjaga persatuan dan menaati aturan pemerintah.
“Anak-anak sekarang harus dengar-dengaran pada pemerintah. Jangan bermusuhan, mari pupuk persaudaraan supaya pembangunan bisa berjalan baik. Kalau hidup dengan kebencian, kita tidak akan maju. Tapi kalau bersatu dan berharap kepada Tuhan, semua akan baik,” pesannya.
Henry menutup kisahnya dengan ajakan damai. “Kita harus belajar berdamai. Jangan lihat wajah, suku, atau darah. Tapi hiduplah sebagaimana yang digariskan oleh Firman Tuhan.” ***(Ainun Faathirjal)




















