KABARPAPUA.CO, Nabire – Serangan brutal atau aksi keji Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada para guru yang sedang bertugas mengajar di Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, Jumat, 21 Maret 2025 lalu mendapat sejumlah kecaman. Apalagi, aksi keji ini menyebabkan seorang guru meninggal dunia dan banyak korban lainnya mengalami luka berat.
Sejumlah ungkapan bela sungkawa dan kecaman mengalir dari penjuru wilayah Indonesia. Rata-rata mereka menyayangkan aksi brutal KKB tersebut, termasuk Andi Rumbrar, seorang pendidik atau guru di salah satu kampung di wilayah pedalaman Papua. “Saya pribadi kaget dan sedih. Seharusnya dengan alasan apapun, peristiwa seperti itu tak boleh terjadi,” ungkapnya melalui saluran telepon, Senin, 24 Maret 2025.
“Hanya orang terpilih yang bisa melayani pendidikan dan kesehatan di pedalaman Papua, jangan dibunuh. Sebab tak semua orang berani hidup di wilayah pedalaman Papua untuk melayani. Apalagi jauh dari keluarga dan kampung halaman. Saya berharap tak ada lagi peristiwa keji menyerang para guru ataupun tenaga kesehatan yang melayani warga di pedalaman Papua,” kata Andi menambahkan. Andi sendiri telah mengabdi sebagai guru kurang lebih 8 tahun di pedalaman Papua, seperti di Kabupaten Puncak Jaya.
Menurut Andi, dirinya memastikan para guru dan tim medis atau tenaga kesehatan yang saat ini bekerja di pedalaman Papua bukan hanya sekadar kejar materi, tapi memang memiliki keinginan mangabdi. “Sebab kalau bicara soal materi, di kota jauh lebih menjanjikan. Tapi mereka juga ada panggilan jiwa yang ingin melayani sepenuh hati, walau mereka bukan orang asli Papua. Mereka menyangkal keinginan pribadi untuk harapan dan masa depan anak-anak Papua,” jelasnya.
Andi sendiri merupakan seorang guru yang kurang lebih sudah 8 tahun mengajar di pedalaman Papua, diantaranya, 2 tahun mengabdi di Kabupaten Tolikara dan 6 tahun berjalan mengabdi di Kabupaten Puncak Jaya. Menurutnya, menjadi guru di pedalaman Papua bukan tanpa hambatan. Tapi sebaliknya, hambatan dan tantangannya luar biasa. Apalagi sarana dan prasarana sangat terbatas, tidak seperti di wilayah perkotaan.
Sebagai seorang guru di pedalaman Papua, Andi pun turut serta memboyong istri dan anaknya untuk ikut ke tempat dia mengajar. Sementara transportasi yang ada, hanyalah pesawat dan hanya terbang setahun 2 kali. Namun itu semua, tak menyurutkan niat Andi untuk terus maju mendidik anak-anak Papua di wilayah pedalaman.
Menjadikan anak-anak Papua sebagai generasi emas dan tongkat estafet pembangunan kedepannya. Hal itulah yang menjadikan sosok Andi harus tetap bersemangat mengabdikan diri mengajar sebagai guru di wilayah pedalaman Puncak Jaya hingga saat ini. ***(Agies Pranoto)