OPINI
*Penulis: Nasarudin Sili Luli (Direktur NSL Political Consultant and Strategic Campaign)
DARI Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi), berbagai tuduhan hukum menghampiri para eks presiden Indonesia. Namun tak satupun yang benar-benar terjerat pidana.
Kini sorotan tertuju pada Jokowi terkait proyek Kereta Cepat Whoosh yang dituding merugikan negara. Apakah ada konsensus tak tertulis bahwa mantan presiden Indonesia kebal hukum
Mengapa pola ini terus berulang? Mengapa hampir mustahil bagi Indonesia untuk memproses mantan presidennya secara hukum, bahkan ketika bukti-bukti pelanggaran tampak jelas?
Kendala terletak pada apa yang oleh banyak pengamat politik disebut sebagai “konsensus tak tertulis” di antara elite politik Indonesia.
Konsensus ini pada dasarnya adalah kesepakatan informal untuk saling melindungi, terutama para pemimpin tertinggi negara, dari jerat hukum yang bisa mengancam stabilitas politik.
Logika di balik konsensus ini cukup kompleks. Pertama, ada kekhawatiran bahwa memproses mantan presiden secara hukum bisa memicu gejolak politik yang besar.
Setiap presiden memiliki basis pendukung yang loyal, dan upaya untuk menjerat mereka secara hukum bisa dipersepsikan sebagai tindakan politik balas dendam dari rezim pengganti. Hal ini berpotensi memecah belah bangsa dan menciptakan konflik horizontal yang berbahaya.
Kedua, ada pertimbangan praktis tentang preseden yang akan tercipta. Jika satu presiden diproses secara hukum, maka pintu terbuka bagi pemrosesan presiden-presiden lainnya, termasuk yang sedang berkuasa. Ini menciptakan insentif bagi elite politik untuk saling melindungi, karena mereka semua berpotensi menjadi target di masa depan.
Ketiga, ada dimensi geopolitik dan ekonomi. Memproses mantan presiden bisa membuka kotak Pandora tentang berbagai kesepakatan internasional, proyek-proyek besar, dan keputusan strategis yang melibatkan banyak pihak, termasuk kekuatan asing. Hal ini bisa merusak hubungan diplomatik dan ekonomi Indonesia dengan negara-negara lain.
Perspektif akademik memberikan kerangka teoritis untuk memahami fenomena ini. Jonathan Di John dalam teorinya tentang “Political Settlement” menjelaskan bahwa dalam banyak negara berkembang, elite politik cenderung membuat kesepakatan informal untuk melindungi satu sama lain demi mencegah instabilitas sistemik.
Kesepakatan ini bukan hasil dari konspirasi terselubung, melainkan evolusi alami dari sistem politik yang mengutamakan stabilitas di atas akuntabilitas.
Dalam konteks Indonesia, political settlement ini sangat kuat karena didukung oleh kultur politik yang menekankan harmoni dan menghindari konflik terbuka.
Tradisi musyawarah dan konsensus, yang sebenarnya adalah nilai luhur budaya Indonesia, dalam praktiknya bisa dimanipulasi untuk melindungi elite dari pertanggungjawaban hukum.
Namun konsensus tak tertulis ini menciptakan masalah serius bagi penegakan hukum dan demokrasi Indonesia. Impunitas bagi mantan presiden mengirimkan pesan bahwa ada dua sistem hukum di Indonesia: satu untuk rakyat biasa, dan satu lagi untuk elite politik.
Hal ini mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan menciptakan preseden berbahaya bahwa kekuasaan politik bisa menjadi tiket keluar dari pertanggungjawaban hukum.
Kasus Whoosh Jokowi akan menjadi ujian lagi bagi konsensus ini. Akankah pola yang sama terulang, ataukah Indonesia akhirnya berani memutus rantai impunitas dan menegakkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum?
Hanya waktu yang akan menjawab, namun jika sejarah adalah guru terbaik, maka jawabannya sudah bisa ditebak. Konsensus tak tertulis itu masih terlalu kuat untuk dilawan, dan Jokowi kemungkinan besar akan mengikuti jejak para pendahulunya: banyak tuduhan, minim konsekuensi hukum.
Kondisi ini justru berbalik,Sejarah mencatat bahwa Indonesia memiliki tradisi unik dalam memperlakukan mantan pemimpinnya.
Berbeda dengan Korea Selatan yang hampir semua mantan presidennya berakhir di penjara, atau Amerika Serikat yang setidaknya memiliki mekanisme investigasi independen terhadap mantan presiden, Indonesia seolah memiliki “safe zone” politik yang melindungi para bekas pemimpin tertingginya dari jerat hukum.
Pada akhirnya, menurut analisisnya bahwa kereta cepat Whoosh hanya akan menjadi intertainmen isu politik yang tidak akan berkesudahan. ***
*) Isi opini atau artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya, bukan menjadi tanggungjawab redaksi KabarPapua.co.




















