KABARPAPUA.CO, Jakarta – Provinsi Papua Tengah mencatatkan diri sebagai daerah yang terbanyak mendaftarkan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 ke Mahkamah Konstitusi.
Dari 277 sengketa yang masuk, hampir 10 persen terjadi di Papua Tengah. Nampak sekali kurangnya persiapan penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu Papua Tengah.
Bisa jadi salah satu penyebabnya adalah personel KPU dan Bawaslu tidak profesional. Kondisi ini juga berangkat dari proses perekrutan yang terkesan apa adanya hingga harus menjadi koreksi bagi penyelenggara pemilu di tingkat pusat.
Data dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebutkan, ada 21 PHPU di Papua Tengah yang didaftarkan ke MK. Seperti diketahui, hanya sekitar dua daerah di Papua Tengah yang melaksanakan pemilu secara langsung.
Selebihnya, sekitar 6 daerah masih menggunakan sistem noken. Enam daerah tersebut yakni Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Paniai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Deiyai, dan Kabupaten Dogiyai.
Saat pelaksanaan Pemilu 2024, terjadi kekerasan horizontal yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa. Aksi saling serang dengan panah dan senjata tajam lainnya demi perebutan suara kelompok masyarakat tertentu.
Peneliti Perludem, Ihsan Maulana menyebut munculnya berbagai masalah dalam pelaksanaan pemilu bisa akibat penyelenggara KPU dan Bawaslu kurang profesional.
“Harusnya untuk provinsi-provinsi baru, KPU RI melakukan supervisi secara langsung, tidak dibiarkan ‘main’ sendiri. Apalagi faktanya bukan hanya banyak sengketa, tapi juga terjadi pertikaian hingga mengakibatkan jatuh korban,” kata Ihsan Maulana, Selasa 26 Maret 2024.
Sinyal Perubahan Sistem Noken
Menurut Ihsan, tingginya angka sengketa Pemilu di Papua Tengah menjadi sinyal perlunya perubahan dari sistem yang lama (noken) ke pelibatan partisipasi publik secara aktif.
“Warga di sana harus diedukasi guna memberikan suaranya secara langsung sebagai bagian dari haknya sebagai warga negara. Tidak lagi diwakilkan kepada kepala suku atau yang lainnya,” ujarnya.
Kondisi demikian, kata Ihsan, bila tidak dibenahi akan terus berulang masalahnya hingga menjadi ajang balas dendam. Bahkan, kalaupun sistem noken mau dipertahankan, pelaksanaannya harus secara transparan, akuntabel, dan membuka ruang keterlibatan publik secara luas.
“Untuk kepentingan jangka panjang, ketentuan sistem noken perlu dibenahi kembali. Sehingga setiap keunikan dalam metode pemilihan noken dapat diakomodir secara legal dan dengan standar yang baik. Hak-hak politik setiap warga negara harus dapat dijamin dan dilindungi dalam ketentuan noken,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Titi juga mendukung pembenahan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana Pemilu. Menurut dia, perekrutan harus dilakukan secara profesional, melalui seleksi yang ketat, bukan karena kedekatan atau nepostime.
“Kalau belum memungkinkan penduduk lokal, maka baik KPU provinsi induk maupun KPU RI harus memberikan supervisi secara langsung,” sarannya.
Titi bilang, belajar dari kejadian-kejadian terdahulu, seharusnya ada upaya preventif dari perspektif penyelenggara pemilu dan perspektif kepolisian.
Secara umum, dari 5 provinsi di Pulau Cenderawasih, 3 di antaranya masuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia yang paling banyak melaporkan sengketa Pemilu 2024 ke MK.
Selain Papua Tengah, ada juga Papua dengan 15 sengketa dan Papua Pegunungan (11 kasus). Mereka bergabung bersama Aceh, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku Utara, dan Maluku. *** (Rilis)