KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura– Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/(BPN), Nusron Wahid memastikan seluruh tempat ibadah di Papua memiliki sertifikasi.
Dia menyebutkan hal tersebut saat berkunjung ke Jayapura dan menyerahkan sertifikat elektronik untuk gereja dan masjid di Kota Jayapura, Rabu, 19 November 2025.
Data BPN, baru 38 persen dari 1 juta tempat ibadah yang telah memiliki sertifikat tanah. Jawa Tengah mencatat angka tertinggi dengan 78 persen, disusul Jawa Timur sebesar 69 persen. Sementara itu, wilayah lain termasuk Papua masih berada di bawah 50 persen.
Untuk mempercepat proses sertifikasi, Nusron mengajak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Dewan Masjid Indonesia, serta organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan para tokoh agama di Papua untuk berkolaborasi.
“Tempat ibadah adalah rumah Tuhan, sehingga harus ada sertifikat agar aman dari penyerobotan oleh mafia tanah. Kami menargetkan 2 tahun ke depan tuntas. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan hukum dan jaminan kepemilikan atas tanah tempat ibadah,” jelasnya.
Pendaftaran Tanah Ulayat di Papua

Nusron juga menjelaskan pentingnya penguatan kelembagaan adat dalam proses pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat di Papua.
Dirinya mengakui hampir seluruh tanah di Papua memiliki keterikatan kuat dengan hak-hak hukum adat. Namun, kelembagaan adatnya masih banyak yang belum terbentuk secara formal. “Komitmennya masih bersifat lisan, belum yuridis,” ujarnya.
Menteri ATR/BPN mendorong Pemerintah Provinsi Papua untuk memperkuat dan memformalkan kelembagaan adat melalui pencatatan resmi. Langkah ini menjadi prasyarat penting sebelum tanah adat dapat didaftarkan secara fisik ke BPN.
“Setelah kelembagaan adat tercatat dan diakui, barulah tanahnya bisa didaftarkan. Kita bisa tahu batas wilayahnya, ukurannya, dan siapa pemilik hak ulayatnya,” jelasnya.
Pendaftaran tanah ulayat secara resmi akan memberikan kepastian hukum, baik bagi masyarakat adat maupun pihak luar yang ingin bekerja sama.
Menteri ATR/BPN menekankan bahwa selama ini banyak konflik terjadi karena kelembagaan adat belum tercatat dan tanah belum terdaftar secara fisik.
“Kalau semua sudah tercatat dan terdaftar, maka ketika ada investor datang, mereka bisa bekerja sama langsung dengan kelembagaan adat. BPN pun tidak akan salah dalam menerbitkan sertifikat,” tambahnya.
Dengan proses yang benar, tanah ulayat dapat diakui sebagai bagian dari tanah negara yang sah, dan BPN memiliki dasar hukum untuk memberikan hak pemanfaatan kepada pihak yang berwenang, tanpa mengabaikan hak masyarakat adat.
Sementara itu Wakil Gubernur Papua, Aryoko Rumaropen menekankan pentingnya perlindungan hak ulayat sebagai identitas dan martabat masyarakat hukum adat Papua.
Menurutnya sosialisasi ini merujuk pada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024, yang mengakui hak ulayat selama masih hidup menurut hukum adat yang berlaku. Untuk itu, diperlukan proses administrasi yang meliputi inventarisasi, identifikasi, pengukuran, pemetaan, dan pencatatan dalam daftar tanah ulayat.
Aryoko menegaskan keberhasilan proses ini sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor termasuk pemerintah daerah, lembaga adat, perguruan tinggi, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Dengan kerja sama yang solid, kita bisa memastikan proses pengakuan dan pendaftaran tanah adat berjalan adil, transparan, dan menghormati nilai-nilai adat,” tambahnya. *** (Imelda)




















