Menu

Mode Gelap
Antisipasi 1 Desember, TNI Polri Patroli 2×24 jam di Kota Jayapura Pesan Sejuk Polri di Deklarasi Pemilu Ceria Tanah Papua Gedung Perpustakaan SMPN 5 Sentani Terbakar Hibah Pilkada Jayapura Cair 10 Persen, Deposit Kas Daerah Rp23 Miliar Disorot 1 Desember di Jayapura: Polisi Amankan Ratusan Botol Miras Ilegal, Penjual Ngacir

NOKEN · 2 Jun 2025 09:29 WIT

Menakar Langkah MDF


					Pasangan nomor urut 2,  calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Mathius Fakhiri-Aryoko Rumaropen. Foto: Net Perbesar

Pasangan nomor urut 2, calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Mathius Fakhiri-Aryoko Rumaropen. Foto: Net

OPINI

*Penulis: Nasarudin Sili Luli (Direktur NSL Political Consultant and Strategic Campaign) 

NAMA Mathius Derek Fakhiri (MDF) kini jadi salah satu komoditas politik Papua yang diperhitungkan serius. Bukan tanpa alasan, dengan jabatannya sebagai mantan Kapolda Papua posisi MDF menjadi salah satu kandidat kuat untuk berhadapan dengan Benhur Tomi Mano (BTM) pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Papua 6 Agustus mendatang. 

Komjen Polisi (Purn) Mathius Derek Fakhiri (MDF) dipandang sebelah mata setelah kekalahan pada Pilkada putaran pertama 2024 silam walaupun didukung koalisi jumbo. 

Banyak yang menyebutnya “anak bawang politik” atau sekadar penerus dinasti kekuasaan Jakarta yang terlalu dini dilempar ke panggung besar politik Papua. 

Kegagalannya dalam Pilkada Papua 2024 dianggap sebagai bukti bahwa elektabilitas dan kapasitas MDF belum siap diuji dalam gelanggang politik keras.

Namun waktu berjalan. MDF tetap bertahan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dilakukan PSU. Ia bahkan kini telah digadang-gadang akan didapuk sebagai Ketua Umum DPD Partai Golkar Papua.

Partai papan atas yang kembali menemukan napas politiknya setelah berhasil menjadi pemenang suara terbanyak pada pileg 2024 dan berhasil merebut pucuk pimpinan DPRD Provinsi Papua. 

Tidak hanya itu, dalam karir di kepolisian pun banyak MDF menduduki posisi strategis. Sebuah lompatan besar bagi figur yang sebelumnya lebih banyak berada di pinggiran kekuasaan.

Kini, wacana  MDF akan menjadi Gubernur Papua berikutnya  mulai mencuat ke permukaan setelah Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia  secara maraton melakukan konsolidasi struktural  Partai Golkar  di tanah Papua.

Bahkan dari analisis, ia digadang-gadang akan jadi calon kuat untuk bertarung pada PSU Pilkada Papua mendatang. 

Di tengah stagnasi figur-figur lama dan dominasi politik Partai Demokrat Papua yang hampir 10 tahun menguasai eksekutif dan legislatif, membuat publik jenuh, MDF muncul sebagai wajah yang relatif segar, namun tetap berpengalaman. 

Modal elektoralnya pun tak bisa dipandang enteng. Dengan basis partai yang tergabung dalam KIM plus, pengalaman birokrasi di kepolisian, dan jejak politik yang terus terasah, MDF semakin siap menjadi bagian dari babak baru perpolitikan Papua mendatang. Pertanyaannya adalah seberapa besar modal MDF?

Pendekatan Teoritis

Fenomena menguatnya nama MDF dalam konstelasi politik Papua akhir-akhir ini dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan teoritis.

Pertama adalah teori political capital seperti yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Dalam kerangka ini, MDF tengah mengakumulasi “modal politik” melalui berbagai bentuk—modal simbolik sebagai mantan Kapolda Papua modal Koalisi KIM Plus dan coattail effect dari Almarhum Lukas Enembe (LE) dan dukungan tokoh agama yang begitu menyatu.

Modal ini tidak bekerja secara statis, melainkan dinamis, saling menguatkan dan dibarterkan dalam relasi kekuasaan yang lebih luas.

Bourdieu menyebut bahwa arena politik adalah ajang perebutan dominasi antara aktor-aktor yang memiliki modal berbeda. Dalam hal ini, MDF berkompetisi dengan figur-figur seperti BTM yang membawa modal partai PDIP. Bedanya, MDF tidak hanya menjadi pewaris modal, tetapi juga sedang aktif membangunnya lewat rekam jejak politik yang akan berlangsung.

Teori kedua yang relevan adalah path dependency atau ketergantungan jalur. Dikenalkan oleh Paul Pierson, teori ini menjelaskan bagaimana keputusan-keputusan di masa lalu akan membentuk jalan sempit bagi pilihan-pilihan di masa depan. 

Dalam konteks ini, keberadaan MDF sebagai figur elite dari partai besar Golkar, yang telah menempuh jalan konsolidasi internal, menjadikannya kandidat gubernur yang lebih stabil dibanding figur lain yang bergantung pada kekuasaan personal atau dinasti.

Teori ketiga berasal dari Chantal Mouffe tentang agonistic pluralism. Dalam demokrasi, kata Mouffe, konflik tidak harus dihindari tetapi perlu disalurkan secara produktif.

Kehadiran MDF sebagai alternatif di tengah pertarungan dua kekuatan besar—Jokowi dan Megawati—memberi warna agonistik yang sehat bagi demokrasi Indonesia terkhusus bagi Pilgub Papua mendatang.

Ia tidak muncul sebagai perpanjangan tangan oligarki tertentu, tetapi menawarkan ruang kompromi di tengah polarisasi politik yang kian melebar  seolah BTM adalah representasi Megawati dan MDF adalah representasi Jokowi. 

Dengan kombinasi modal politik, struktur jalur sejarah yang mendukung, dan posisi sebagai “aktor tengah” dalam lanskap kekuasaan, MDF bisa menjadi tokoh yang menarik untuk memecah kebuntuan politik nasional dan Papua.

MDF: Antara Harapan dan Realitas Kekuasaan

Meski secara teori MDF memiliki bekal yang menjanjikan, realitas politik Papua bukan arena yang netral. Nama besar dan modal politik bukan jaminan kemenangan di tengah kompetisi yang seringkali ditentukan oleh oligarki, narasi populis, politik identitas dan sentimen primordial.

Tantangan terbesar MDF adalah membebaskan dirinya dari bayang-bayang politik lama sekaligus meyakinkan publik Papua bahwa ia bukan sekadar simbol masa lalu yang dibungkus kemasan baru apalagi perpanjangan tangan oligarki dan kepentingan para elit jakarta untuk kepentingan SDM Papua.

Di sisi lain, pengaruh elite seperti Jokowi dan Megawati masih sangat kuat. Jokowi punya jaringan birokrasi dan infrastruktur politik yang luas, terutama setelah keberhasilannya mendorong Gibran menjadi Wapres bersama Prabowo di Pilpres 2024 kepentingan elit jakarta akan berpengaruh terhadap kontestasi elektoral PSU mendatang untuk menyiapkan strategi pemenangan pemilu 2029.

Megawati, meski mulai meredup, tetap menjadi penjaga gerbang PDIP dan untuk pertarungan di pilgub Papua representasi BTM masih menguat dan pusat kekuatan ideologis di kubu nasionalis. Dalam lanskap ini, MDF harus mampu merebut ruang, bukan hanya dari luar tetapi juga dari dalam.

Sebagai mantan kapolda dan ia digadang-gadang akan menakhodai Golkar Papua, MDF punya peluang besar untuk menunjukkan kapasitasnya. Tapi jabatan ini juga membawa risiko tinggi: jika ia gagal dalam tugasnya atau terseret isu-isu hukum seperti korupsi dana PON Papua yang cukup masif tersebar dalam dunia maya dan politik, maka peluangnya untuk  PSU mendatang bisa runtuh lebih cepat dari yang dibayangkan. 

Di sinilah pentingnya bagi MDF untuk membangun narasi kuat, tidak hanya berbasis retorika, tetapi juga bukti kerja nyata yang dapat dikapitalisasi secara elektoral.

Momen-momen seperti ini sering kali menjadi batu ujian: apakah ia hanya akan menjadi nama yang sering disebut dalam survei, atau benar-benar menjadi figur yang disiapkan oleh sejarah Papua untuk mengisi kekosongan kepemimpinan.

MDF Next Gubernur Papua? 

Pertanyaannya kini: apakah MDF akan benar-benar menjadi “Next Gubernur Papua”? Atau ia hanya akan menjadi catatan pinggir dari drama politik Papua yang terus digerakkan oleh dinasti dan oligarki yang sama?

Jawaban atas pertanyaan ini bukan hanya soal MDF sendiri, tetapi juga tentang arah demokrasi Papua. Jika publik Papua dan elite politik mulai lelah dengan model-model kepemimpinan yang berputar pada nama-nama itu saja, maka MDF bisa menjadi simbol perubahan yang diharapkan.

Namun jika logika politik tetap dikuasai oleh mekanisme transaksional, operasi gelap di belakang layar dan pengaruh-pengaruh lama, maka MDF akan sulit menembus barikade kekuasaan yang sudah lama mapan.

Pada akhirnya, MDF adalah cerminan dari dinamika politik Papua yang sedang mencari bentuk baru. Ia bukan sosok muslim radikal, ia hanya seorang muslim mualaf yang menawarkan perubahan ekstrem, tapi juga bukan boneka kekuasaan.

Di tengah stagnasi kepemimpinan, kadang figur seperti inilah yang justru punya peluang untuk menyatukan kembali fragmen-fragmen politik yang terpecah di tanah Papua. 

Namun seperti halnya setiap babak baru dalam sejarah, semuanya tergantung pada momentum. Dan pertanyaan besarnya: apakah PSU 6 Agustus  2025 mendatang akan menjadi milik MDF atau justru milik mereka yang lebih lihai menari dalam gelapnya panggung kekuasaan Papua.

*) Isi opini atau artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya, bukan menjadi tanggungjawab redaksi KabarPapua.co.

Artikel ini telah dibaca 62 kali

badge-check

Penulis Berita

Baca Lainnya

Perubahan Iklim Global: Ancaman Nyata bagi Pasifik dan Pesisir Papua  

30 May 2025 - 21:17 WIT

Energi Hijau Papua: Jalan Tengah Konservasi dan Keadilan Sosial

28 May 2025 - 10:47 WIT

Penerapan Etika Kesehatan Masyarakat dalam Program Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS

19 May 2025 - 16:20 WIT

Perang Bintang di Papua: Dua Eks Jenderal dan Dinamika Perebutan Kursi Gubernur

23 March 2025 - 15:09 WIT

Angin Segar Kenaikan Kesejahteraan Gaji Guru, Diharapkan Sebanding dengan Kualitas Pengajaran Bagi Siswa di Sekolah

10 January 2025 - 22:01 WIT

Analisis Kemenangan (BTM –YB)

16 December 2024 - 13:22 WIT

Trending di NOKEN