Menu

Mode Gelap
Antisipasi 1 Desember, TNI Polri Patroli 2×24 jam di Kota Jayapura Pesan Sejuk Polri di Deklarasi Pemilu Ceria Tanah Papua Gedung Perpustakaan SMPN 5 Sentani Terbakar Hibah Pilkada Jayapura Cair 10 Persen, Deposit Kas Daerah Rp23 Miliar Disorot 1 Desember di Jayapura: Polisi Amankan Ratusan Botol Miras Ilegal, Penjual Ngacir

NOKEN · 16 Dec 2024 13:22 WIT

Analisis Kemenangan (BTM –YB)


					Nasarudin Sili Luli
( Direktur Eksekutif Political Consultant and Strategic Campaign). Foto: Pribadi Perbesar

Nasarudin Sili Luli ( Direktur Eksekutif Political Consultant and Strategic Campaign). Foto: Pribadi

OPINI

*Penulis: Nasarudin Sili Luli (Direktur Eksekutif Political Consultant and Strategic Campaign)

PASANGAN calon gubernur dan wakil gubernur Provinsi Papua nomor urut 1, Benhur Tommy Mano dan Yeremias Bisai (BTM-YB), unggul di Pilkada Papua. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua telah menetapkan BTM-YB sebagai pemenang, mengalahkan pasangan nomor urut 2, Mathius Derek Fakiri dan Ariyoko Rumaropen (MDF-AR). Berdasarkan hasil rekapitulasi suara di 9 kabupaten/kota, BTM-YB meraih 269.970 suara atau 51 persen, sementara MDF-AR memperoleh 262.777 suara atau 49 persen.

Dari hasil penetapan KPU Provinsi Papua diatas ada beberapa faktor yang mempengarui (BTM-YB) mengungguli pasangan calon (MDF-AR).Dalam analisis saya, dalam konteks pilkada Papua, ada beberapa alasan mengapa (MDF –AR ) dalam koalisi besar 17 parpol pengusung paslon (MDF-AR) yakni Partai Golkar, Nasdem, Demokrat, PKS, Perindo, PAN, PKB, Gerindra, PSI, PPP, Buruh, Gelora, Hanura, Garuda, PBB, PKN dan Ummat gagal mendapat dukungan elektoral yang signifikan? Dibandingkan dengan pasangan calon (BTM-YB) hanya didukung oleh dua parpol yaitu PDIP dan PKN .

Pertama, basis dukungan parpol khususnya di Papua sebetulnya sangat tipis dan rapuh. Kesimpulan ini merujuk pada party-ID yang rendah. Party-ID adalah tingkat kedekatan, baik emosional dan psikologis, dari pemilih terhadap partai . Ketika koalisi politik tidak berpijak di atas ideologi atau program politik, maka membaca manuver elite parpol daerah (papua) dan nasional tak ubahnya membaca arah jalan sopir bajaj; sulit ditebak.

Ada yang membaca peta koalisi itu dengan hitungan matematika sederhana: menambahkan perolehan suara atau kursi semua partai dalam koalisi. Hasilnya gampang ditebak: koalisi jumbo paling berpeluang memenangkan Pilkada Namun, hitungan di atas kertas semacam itu seringkali memunggungi real-politik seperti yang terjadi pada pilkada Papua kali ini.

Ada banyak preseden politik yang memperlihatkan bahwa David bisa mengalahkan Goliath dalam pertarungan elektoral. Tidak usah jauh-jauh, pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok yang diusung hanya oleh dua parpol bisa mengalahkan kandidat yang diusung oleh lusinan partai.seperti halnya sejarah berulang kembai hal yang terjadi kembali pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2024 ,Pramono –Rano yang hanya diusung oleh PDI Perjuangan, Pilkada Papua yang dimenangkan oleh pasangan calon (BTM-YB) memberikan kita kejutan dan gambaran utuh bahwa koalisi besar tidak menjamin kemenangan electoral secara signifikan .

Menurut analisis saya, dalam konteks Pilkada Papua, ada beberapa alasan mengapa koalisi besar tidak selalu identik dengan potensi dukungan elektoral yang besar.

Hasil survey baru –baru ini memperlihatkan hanya 11,7 persen orang di Indonesia merasa punya ikatan psikologis dengan parpol tertentu dan akan memilih parpol itu kapan pun pilkada digelar. Sebaliknya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis dengan parpol tertentu. Mereka gampang berpindah haluan dan pilihan politik. Dengan party-ID yang rendah, agak serampangan jika waktu kampanye yang lalu Tim sukses atau tim koalisi (MDF-AR) menjadikan perolehan suara atau kursi pada pemilu sebelumnya sebagai basis kalkulasi elektoral. Sebab, basis suara itu ibarat gelembung sabun yang gampang pecah.

Kedua, tidak ada pengikat ideologis yang erat pasangan calon (MDF –AR) dengan massa pemilih ,sebab beliau(MDF) baru selesai purna tugas dikepolisin,belum punya pengelaman dalam pertarungan politik maupu menjadi kader atau pengurus parpol,Kondisi ini justru beda dengan (BTM) beliau adalah kader parpol,beliau juga 10 tahun menjadi wali kota jayapura artinya punya pengalaman yang cukup untuk bertarung pada arena perpolitikan Papua,sebab sekali lagi beliau punya ikatan emosional dengan masyarakat dan basis masa yang terukur .

Hampir semua parpol di Papua tak punya pijakan ideologi yang kuat. Sebagian besar hubungan elite dan massa dibentuk oleh jejaring patron-klien. Tanpa pengikat ideologis, para elite partai tak punya kapasitas untuk menggerakkan massa pemilih secara konsensual. Sementara patron-klien butuh biaya untuk merawatnya, baik politik uang maupun pembajakan program sosial negara untuk disiramkan ke bawah,hal ini menurut saya pasangan calon (MDF-AR) tidak secara optimal menggunakan mesin parpol yang tergabung dalam koalisi besar tersebut,dalam pengamatan saya justru relawan yang menjadi mesin utama pemenangan (MDF –AR)

Ketiga, Dalam konteks Papua tingkat kepercayaan (trust) pemilih terharap parpol sangat rendah. Dari berbagai survei, parpol selalu menjadi lembaga politik yang paling tidak dipercaya publik.
Tentu saja, rendahnya tingkat kepercayaan menciptakan jarak yang jauh antara parpol dan rakyat. Parpol tidak memiliki daya tarik politik bagi sebagian besar rakyat. Tidak mengherankan, pada setiap Pilkada, pemilih lebih mengutamakan figur ketimbang Parpol,itu sebabnya ketika dua sosok yang dimunculkan kepublik Papua (BTM-YB) lebih di gandrungi oleh masyarakat Papua,sebab mereka melihat sosok figur yang suda pengalaman, ketimbang memilih sosok yang belum punya rekam jejak memimpim suatau daerah.

Keempat, Soal koalisi dan dukungan pilkada Papua kemarin, seringkali tidak melalui proses yang demokratis dan partisipatif. Seringkali keputusan politik strategis tidak mendengar aspirasi dari bawah. Akibatnya, belum tentu semua struktur partai maupun kadernya tegak lurus dengan keputusan pucuk pimpinannya.

Hal ini ,yang dialami oleh (MDF –YB) punya infrastruktur partai yang begitu jumbo,akan tetapi tidak semua struktur ,pengurus bahakan kader dan simpatisan partai jutru tidak tegak lurus terhadap rekomedasi yang dikeluarkan oleh DPP,banyaknya parpol koalisi alih-alih berpikir untuk stratgei pemenangan ,justrul sibuk mengurus dinamika internal yang tak kesudahan,sebab masing-masing parpol koalis mempunyai kepentingan yang berbeda-beda,jutrul (BTM-YB) sebabliknya .

Ada banyak presedennya di setiap Pemilu maupun Pilkada. Tak bisa dipungkiri, koalisi gemuk berpotensi menarik pemilih dari berbagai latar belakang. Selain itu, koalisi gemuk juga menjanjikan stabilitas politik dan pemerintahan yang efektif ketika berhasil berkuasa. Namun, koalisi gemuk juga menyimpan bahaya, seperti mayoritarianisme, matinya check and balance, dan politik kartel pada pilkada mendatang. ***

*) Isi opini atau artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya, bukan menjadi tanggungjawab redaksi KabarPapua.co.

Artikel ini telah dibaca 61 kali

badge-check

Penulis Berita

Baca Lainnya

Angin Segar Kenaikan Kesejahteraan Gaji Guru, Diharapkan Sebanding dengan Kualitas Pengajaran Bagi Siswa di Sekolah

10 January 2025 - 22:01 WIT

Konspirasi dan Pembiaran Kejahatan Pilgub Papua di Mamberamo Raya

14 December 2024 - 15:53 WIT

Transmigrasi ke Papua Bukan Settler Colonialism Jawa untuk Menduduki Bumi Cenderawasih

11 November 2024 - 22:26 WIT

Pengendalian Vektor Nyamuk: Upaya Pencegahan Penularan Penyakit Malaria

21 June 2024 - 19:53 WIT

Hak-hak Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Tanah Papua

17 May 2024 - 22:04 WIT

Spei Yan Bidana, Pemimpin yang Visioner

13 May 2024 - 10:18 WIT

Trending di KABAR PEGUNUNGAN BINTANG