KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura– Sejumlah anggota DPR RI dinonaktifkan oleh partai politik buntut pernyataan yang dinilai kontroversial hingga melukai hati rakyat. Kelima anggota DPR itu, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya) dan Adies Kadir.
Direktur Eksekutif NSL Political Consultant and Strategic Campaign, Nasarudin Sili Luli menjelaskan penonaktifan sejumlah anggota DPR RI adalah hanya akal -akalan partai politik.
Kenapa demikian? Parpol yang menonaktifkan kadernya di parlemen, hal itu sekedar keputusan internal partai politik atau fraksi. Tidak otomatis mengubah status anggota DPR.
“Berpijak dari sisi hukum, mereka tetap berstatus anggota DPR sampai ada PAW (Penggantian antarwaktu) yang bisa dilakukan setelah ada pemberhentian antarwaktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR,” katanya, Selasa 2 September 2025.
Langkah Parpol ini justru menimbulkan polemik dan persoalan baru di tengah masyarakat, sebab anggota DPR RI yang dinonaktifkan artinya tidak menjalankan aktivitasnya, sebagai wakil rakyat untuk sementara waktu.
“Akan tetapi semua haknya seperti gaji tunjangan dan lain-lain tetap dibayar oleh negara. Inikan hanya akalan -akalan saja untuk meresahkan situasi yang saat ini lagi bergejolak saja,” katanya.
Aturan Hukum
Frasa nonaktif diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Tapi penggunaannya, spesifik hanya untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan dan pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat lengkap untuk diproses. Mekanisme ‘non aktif’ yang diatur dalam UU MD3 ini bukan untuk anggota DPR secara umum.
Yang berikutnya Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib sebagaimana telah diubah terakhir melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 itu juga mengatur ketentuan yang sama. Pengaturan nonaktif hanya sebatas pada pimpinan/anggota MKD yang diadukan.
Selebihnya, status keanggotaan DPR baru bisa berubah melalui mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW) sebagaimana diatur dalam Pasal 239 UU MD3, yang prosesnya melibatkan usulan partai, pimpinan DPR, dan penetapan Presiden.
Penonaktifan diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Tapi penggunaannya, spesifik untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedang diadukan dan pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat lengkap untuk diproses. Mekanisme ‘non aktif’ yang diatur dalam UU MD3 ini bukan untuk anggota DPR secara umum.
Hal ini juga tertuang dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib sebagaimana telah diubah terakhir melalui Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2025 mengatur ketentuan yang sama. Pengaturan nonaktif hanya sebatas pada pimpinan/anggota MKD yang diadukan.
Setelah dinyatakan non aktif melalui pimpinan partai politik, status anggota DPR masih melekat. Perlu dilakukan mekanisme penggantian antar waktu setelah ada pemberhentian antar waktu yang disampaikan pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR.
Mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW) bagi anggota DPR diatur Pasal 239 UU MD3. Setidaknya ada 2 poin yang diatur dalam ketentuan ini. Pertama, seorang anggota DPR berhenti antarwaktu apabila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan. Kedua, pemberhentian anggota DPR hanya dapat dilakukan apabila memenuhi salah satu alasan yakni tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan selama 3 bulan tanpa keterangan.
Melanggar sumpah/janji jabatan atau kode etik DPR. Dijatuhi pidana penjara lima tahun atau lebih melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Diusulkan oleh partai politiknya. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR. Melanggar larangan dalam UU MD3. Diberhentikan sebagai anggota partai politik atau menjadi anggota partai politik lain.
Mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) diatur secara jelas dalam Pasal 242 UU MD3.
Apabila seorang anggota DPR berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 dan Pasal 240, posisinya digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak berikutnya dari partai politik yang sama di daerah pemilihan yang sama. Apabila calon pengganti tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat, maka kursi tersebut diberikan kepada calon dengan perolehan suara terbanyak berikutnya dari partai dan daerah pemilihan yang sama.
Dengan demikian, sistem PAW memastikan kontinuitas representasi politik berdasarkan hasil pemilu, tanpa menambah kursi baru di luar perolehan suara partai politik. Masa jabatan anggota DPR pengganti berlangsung untuk sisa periode anggota yang digantikannya.
Jika anggota DPR yang berhadapan dengan pidana tersebut dinyatakan terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka diberhentikan sebagai anggota DPR. Sebaliknya, apabila dinyatakan tidak bersalah, kedudukannya sebagai anggota DPR dipulihkan.
UU MD3 juga mengatur pemberhentian sementara anggota DPR. Pasal 244 menyebut pemberhentian sementara dilakukan apabila seorang anggota DPR menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum dengan ancaman pidana paling singkat lima tahun, atau menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus (seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan tindak pidana berat lainnya).
“Jika anggota DPR yang berhadapan dengan pidana tersebut dinyatakan terbukti bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka diberhentikan sebagai anggota DPR. Sebaliknya, apabila dinyatakan tidak bersalah, kedudukannya sebagai anggota DPR dipulihkan,” katanya.
Selama dalam status pemberhentian sementara (nonaktif,-red), anggota DPR tetap memperoleh sebagian hak keuangan, dengan tata cara lebih lanjut diatur melalui Peraturan Tata Tertib DPR
Artinya jika partai politik mau berbenah dan memperbaiki institusi partai dan sepenuhnya menegakan disiplin partai maka Istilah nonaktifkan kader partai di parlemen tidak dilakukan, tetapi melalui mekanisme pemberhentian antar waktu (PAW) ini penting agar ada kepastian hukum ditengah masyarakat yang masih bergejolak. *** (rilis)




















