KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Alansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mengecam sikap reaktif pihak kepolisian, terhadap sejumlah pekerja pers yang meliput kegiatan peliputan aksi unjuk rasa simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Barat pada Senin kemarin.
Data AJI Kota Jayapura menyebutkan lebih dari lima jurnalis yang meliput unjukrasa ini diintimidasi dan dihalang-halangi untuk tak bisa mengambil video atau foto oleh aparat kemanAn.
Namun hanya dua jurnalis yang membuat pengaduan ke AJI Kota Jayapura, yakni Ardi Bayage, wartawan media online suarapapua.com bernama Ardi Bayage yang diduga mengalami tindakan kekerasan dari oknum polisi yang merusak telepon selularnya.
Koordinator Advokasi AJI Jayapura, Fabio Costa menuturkan Ardi dicurigai sebagai salah satu aktivis KNPB. Padahal ia telah menunjukkan kartu persnya kepada pihak kepolisian ketika meliput aksi unjuk rasa tersebut.
Kasus yang kedua menimpa seorang stringer Metro TV Fakfak bernama Morten Kabes saat meliput unjuk rasa KNPB. Dari pengakuan Morten, ia dipukul oknum anggota Polres Fakfak berinisial ER hanya karena menggunakan topi di dalam lingkungan kantor polres.
Morten terkena pukulan di bagian dagu. Setelah itu ia pun masih mendapat ancaman dari oknum tersebut. Sayangnya, pemukulan ini terjadi di hadapan sejumlah perwira polisi.
“Sejumlah intimidasi kepada wartawan lainnya juga terjadi, namun mereka belum mengungkapkannya dengan pertimbangan tertentu,” ujar Fabio, Selasa 3 Mei 2016
Terkait dua kejadian tersebut, beberapa point yang didesak AJI Jayapura adalah AJI Jayapura akan meminta klarifikasi dari pihak Polda Papua dan Polda Papua Barat terkait insiden ini. Sebab, sikap sejumlah oknum aparat terkesan menutupi kerja pers yang meliputi segala aspek kehidupan.
Hal ini semakin menegaskan bahwa tidak adanya keterbukaan informasi atas isu-isu sensitif yang terjadi di tanah Papua. “Apabila benar ada kesengajaan pengerusakan telepon seluler dan penganiyaan terhadap rekan pers, kami berharap pimpinan dari dua instusi polda bisa menindaklanjutinya,” jelasnya.
Kedua, pihak kepolisian seharusnya bisa memahami kerja pers mengacu pada kode etik jurnalistik. Salah satunya prinsip keberimbangan atau Cover Both Side. Seorang jurnalis yang harus menyajikan fakta-fakta lapangan yang berimbang dan bertugas secara independen.
Ketiga kami berharap aparat penegak hukum dan pers terus menjalin hubungan sebagai mitra bersama untuk membangun situasi keamanan yang kondusif di Papua yang tercinta.
“Kami juga berharap kepada rekan pers di lapangan untuk lebih cermat menempatkan diri dalam peliputan konflik. Indentitas lembaga pers harus ditunjukkan secara jelas ketika meliput. Selain itu, rekan-rekan pers juga harus berada di zona netral, sehingga tak memancing amarah dari kedua pihak yang sementara bertikai,” ujar wartawan Kompas ini. *** (Aruni)