KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Akibat perguruan tingginya tak memiliki akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), para mahasiswa Akademi Keperawatan Yayasan Masyarakat Sejahtera (Akper Yamas) Papua melaporkan kampusnya ke pihak kepolisian setempat.
Menurut Ketua Tim Pengawasan Akreditasi dan Legalitas Kampus Yamas Papua, Agus Heselo, pihaknya bersama para mahasiswa lainnya pada 1 Maret 2016 lalu telah melaporkan hal ini ke Polda Papua. “Kami minta Polda Papua periksa semua pengelola kampus Akper Yamas Papua dan ketua yayasannya Pak Wempi Aronggear,” katanya, Kamis, 17 Maret 2016.
Agus juga mengatakan pihaknya meminta, agar Polda Papua mengechek apakah status kampus Akper Yamas Papua yang terletak di sebuah rumah toko (ruko) di Jalan Baru dekat Pasar Youtefa, Abepura, Kota Jayapura masih jelas atau tidak. “Agar nantinya persoalan ini jelas,” katanya.
Menurut Agus, pihaknya bersama pihak Kepolisian Papua bersama mahasiswa sudah turun langsung ke kampus Akper Yamas Papua untuk mengechek langsung fasilitas yang digunakan pihak kampus selama ini. “Misalnya laboratorium, perpustakaan, dan fasilitas pendukung proses belajar mengajar lainnya,” katanya.
Hingga kini, kata Agus, proses pemeriksaan dan penyediakan status Kampus Akper Yamas Papua dan persyaratan akreditasi dari kampus seperti apa, sementara masih berlangsung. “Tugas kami mahasiswa, terus berkoordinasi dengan para orang tua dan menggelar jumpa pers, serta dialog di media elektronik/televisi yang ada di Jayapura,” katanya.
Mahasiswa terus menuntut akreditasi karena Kampus Akper Yamas Papua itu telah mengeluarkan ijazah palsu kepada lulusan mahasiswa sebanyak 4876 lulusan ahli madya keperawatan.
“Kami proses masalah ini dan sudah berjalan selama tujuh bulan dan tak ada dukungan dari siapapun. Kami mahasiswa jalani sendiri dan kami juga sudah melakukan terobosan ke barbagai instansi yang berkompenten di Papua dalam hal ini Dinas Kesehatan Papua, DPR Papua dan juga Gubernur Papua untuk penyelesaian masalah ini,” jelas Agus.
Agus menuturkan, pihaknya menyampaikan aspirasi terkait masalah ini ke Gubernur Provinsi Papua pada 29 Februari 2016 karena mahasiswa yang menjadi korban adalah sumber daya manusia Papua, sekaligus merupakan aset khusus di bidang kesehatan. “Pemerintah Papua tak boleh diam dengan persoalan ini,” katanya. ***(Katharina Louvree)