KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Menurut salah satu Antropolog Universitas Indonesia, yang juga seorang peneliti, Raymond Michael Menot, hingga saat ini belum ada kajian mengatakan minuman beralkohol atau minuman keras (miras) penyebab kepunahan atau penyebab utama kematian orang asli Papua. “Jadi sangat diperlukan penelitian terkait pernyataan ini,” katanya kepada wartawan saat diskusi terhadap pelarangan miras di Papua, Rabu, 20 April 2016.
Menurut Raymond, pelarangan miras di Papua bisa berdampak lebih besar dan alasan untuk melarang miras itu karena penyebab kepunahan orang asli Papua, jelas harus melalui penelitian lebih dulu. “Sebab miras itu sudah ada sejak jaman dulu dan sampai saat ini hampir ada di seluruh bagian dunia ini,” katanya.
Selain itu, kata Raymond, perlu juga dikaji lebih dalam, apakah miras atau minuman beralkohol menyebabkan kematian akibat kecelakaan lalu lintas, perceraian rumah tangga, dan kekerasan dalam rumah tangga. “Sebab kasus kecelakaan lalu lintas banyak faktor penyebabnya. Salah satu misalnya, tak mentaati peraturan berlalulintas. Demikian pula masalah kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian,” katanya.
Terkait pelarangan peredaran miras di Papua yang dikeluarkan pemerintah daerah, menurut Kriminalog dari Universitas Indonesia, Josias Simon Runturambi, tentunya seseorang pemimpin daerah dalam mengambil kebijakan publik, harus ada suatu data pendukungnya. “Mungkin melalui kajian atau analisa, agar kebijakan yang dibuat menjadi sesuai yang benar untuk kepentingan publik,” katanya.
Josias menyebutkan, hingga saat ini pihaknya sulit mendapatkan data terkait orang Papua meninggal akibat miras dari pemerintah daerah. “Saya tak tahu, apakah data itu tak ada atau data itu ada, tapi tak mau diberikan. Secara umum di Indonesia, masalah miras belum sesuatu yang dilarang, kalaupun ada hanya jenisnya atau kadar alkoholnya yang ditentukan,” katanya.
Sesuatu kebijakan yang dikeluarkan pimpinan daerah, kata Josias, tentu ada yang setuju dan ada yang tak setuju, namun semua itu ada prosesnya. Tapi disisi lain, orang miliki beda pendapat karena berbeda cara pandang. “Bisa saja masalah miras dikaitkan dengan politik, ekonomi, bahkan masalah kesehatan. Semua itu bisa diterima, tapi lebih penting harus ada kajian, sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara data,” katanya. ***(Ramah/Lazore)