OPINI
Oleh: Ambassador Freddy Numberi*
BUNG Karno berkata: “Hukum itu berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama dan ideologi…..
Hak-Hak Asasi Manusia itu satu konstitusi yang dapat kamu banggakan, satu konstitusi yang dapat kamu teladani.”
(sumber: Wawan Tunggul Alam, 2001:hal. 131)
Meskipun kembalinya Papua dalam rumahnya yang bernama NKRI sesuai prinsip International “uti possidetis juris” , namun warisan kekerasan peninggalan kolonial Belanda sejak 1 Mei 1963 terus berlangsung hingga kini (1 Mei 2021-58 tahun) dan menjadi pola aparat keamanan di Indonesia. Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan ala kolonial Belanda ini telah kita adopsi menjadi budaya dalam sistem berbangsa dan bernegara. Disamping itu kita juga terperangkap didalamnya dan berlindung dibaliknya atas nama kedaulatan Negara serta mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) rakyat Indonesia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME sesuai Pancasila yang kita agungkan (Sila Kedua).
Kekerasan yang terus terjadi sejak 1 Mei 1963 menjadi pintu masuk bagi internasionalisasi kasus Papua melalui isu pelanggaran HAM di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Presiden Jokowi secara bijak melalui Menkopolhukam telah memutuskan tiga kasus besar pelanggaran HAM di Papua untuk menjadi perhatian dan telah dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM RI, yaitu kasus Wamena berdarah (6 Oktober 2000), korban 47 orang, Wasior Berdarah (13 Juni 2001), korban 117 orang dan kasus Paniai Berdarah (8 Desember 2014), korban 18 orang, untuk telebih dahulu dituntaskan.
Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk memulihkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Negara dan Pemerintah. Makna ke Indonesiaan dalam konteks Papua, untuk beberapa kalangan dilihat hanya dalam bentuk symbol dan belum sampai pada masyarakat akar rumput di Papua menjadi bagian utuh dari Indonesia akibat memoria passionis (ingatan penderitaan) masa lalu.
Akhirnya Dewan HAM PBB berkomunikasi dengan pemerintah Indonesia melalui Duta Besar Indonesia untuk PBB pada tanggal 22 Desember 2021.
Dalam komunikasi tersebut Dewan HAM PBB melalui ketiga Special Rapporteurs Mandate Holders (SRMH), terdiri dari :
- Jose Fransisco Cali Tzay
Special Rapporteur on the right of indigenous peoples;
- Moris Tidball – Binz
Special Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions;
- Cecilia Jimenez – Damary
Special Rapporteur on the human rights of internally displaced persons.
Dalam kaitan dengan ini, pihak PBB meminta informasi sesuai dengan apa yang telah diterima, yaitu: Excessive use of force against indigenous Papuans in the provinces of Papua and West Papua. We have received allegations indicating several instances of extra-judicial killing, including of young children, enforced disappereance, torture and inhuman treatment and the forced of displacement of at least 5,000 indigenous Papuans by security forces between April and November 2021.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap penduduk asli Papua di provinsi Papua dan Papua Barat. Kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan antara April dan November 2021.
(terjemahan bebas)
Pertanyaan pertanyaan ini tentunya harus di jawab oleh pemerintah sesuai dengan harapan 3 (tiga) Rapporteurs Dewan HAM PBB tersebut.
Tentunya kita menyambut positif bahwa pemerintah dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan baik.
Harapan kedepan adalah mengubah kebijakan keamanan yang ada menjadi keamanan manusia sesuai Resolusi PBB nomor 66/290 tanggal 10 September 2012, mengingat bukan keamanan negara yang utama, tetapi sesuai Resolusi tersebut, keamanan manusia (human security) menjadi sangat penting dan paramount di Indonesia, khususnya di Tanah Papua.
Saran kepada Presiden Jokowi, bahwa Indonesia perlu suatu Road Map untuk menghentikan kekerasan yang ada agar keamanan manusia dapat terjamin, khususnya di Tanah Papua. Hal ini tidak lain untuk meraih Papua Tanah Damai, sesuai perintah Presiden Jokowi pada acara perayaan Natal 27 Desember 2014 dengan berkata: “Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Kita ingin sekali lagi Tanah Papua sebagai Tanah yang damai.” (Kompas, 27 Desember 2014).
Jakarta, 21 Februari 2022
*Ambassador Freddy Numberi adalah Founder Numberi Center
OPINI ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi KabarPapua.co.