KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Masyarakat adat dari 3 kampung besar di Jayapura menggeruduk Kantor DPR Papua, Selasa 30 Mei 2023. Mereka menuntut ganti rugi tanah adat Bandara Sentani, Jayapura.
Anggota Komisi I DPR Papua, Yonas Nussi menerima langsung aksi masyarakat adat dari Kampung Yahim, Kampung Yobe dan Kampung Ifar Besar.
Dalam aspirasinya, masyarakat adat mempertanyakan surat Belanda, Besluit Van De Gouverneur Van Nederland Niew Guinea yang menjadi dasar menerbitkan sertifikat tanah.
Mereka juga mempertanyakan situasi peta bandar udara Sentani – Jayapura yang kini belum dibayarkan oleh pihak perhubungan/ Kabandara Sentani sejak tahun 1970-2000.
Pihak perhubungan RI pada Tahun 2003 juga belum membayar lahan seluas 39 hektare sebesar Rp 15,9 miliar. Demikian juga pembayaran lahan seluas 55 hektare yang hingga kini belum terealisasi.
Tokoh Adat, Willem Felle mengaku sedih, karena perjuangan para orang tua dan tokoh adat selama 53 tahun menuntut hak belum membuahkan hasil.
“Kami anak cucu berusaha mendapatkan hasil dari situ. Sebab, sudah puluhan tahun negara pergunakan hak kami. Negara harus membayar,” tegasnya.
Masyarakat 3 Kampung Siap Duduki Bandara Sentani

Anggota DPR Papua, Yonas Nussi menerima aspirasi masyarakat adat yang menuntut ganti rugi tanah Bandara Sentani, Selasa 30 Mei 2023. (KabarPapua.co/Imelda)
Willem berjanji bakal kembali bersama seluruh masyarakat 3 kampung menduduki tanah adat di Bandara Sentani.
“Saya mau sampaikan, kami akan duduk di atas tanah bandara. Seluruh kampung kami akan duduk di bandara kalau pemerintah tidak akomodir 55 hektare itu,” kata Willem
Salah satu perwakilan perempuan, Beatrix Felle menyampaikan, pihak keluarga sudah pernah bertemu Jokowi sebelum menjadi presiden di Jakarta. Pertemuan itu untuk menyampaikan aspirasi tersebut.
“Kami menyerahkan beberapa dokumen kepada pak Jokowi. Kami isi dalam noken dan gantung di bahunya oleh Ketua DAS. Pak Jokowi saat ini berjanji menyelesaikan masalah tanah Bandara Sentani,” ucapnya.
Beatrix mengaku kecewa dengan terbitnya sertifikat oleh BPN usai pertemuan tersebut. Di mana, sertifikat tersebut tidak memiliki surat pelepasan adat.
“Tiba-tiba BPN terbitkan sertifikat, ini persoalan. Kami tidak bicara sertifikat, kalau boleh perhubungan dengan Angkasa Pura selesaikan tuntutan masyarakat yaitu ganti rugi tanah Bandara Sentani,” ungkap Beatrix. *** (Imelda)