KABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – El Nino merupakan fenomena alam yang kejadiannya akan terus berulang di Indonesia dengan jarak yang semakin dekat. Fenomena ini terkait Suhu Muka Laut (SML) yang terjadi di Samudera Pasifik.
Melansir situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), El Nino adalah fenomena pemanasan SML di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah hingga timur.
Pemanasan SML ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, termasuk seperti di Indonesia. Fenomena El Nino kini menjadi ancaman serius, termasuk bagi salju abadi Puncak Jaya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut, salju abadi di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua terus mengalami pencairan dan di ambang kepunahan.
Dugaan kuat mencairnya salju abadi berkaitan dengan pemanasan global dan perubahan iklim yang sedang terjadi di seluruh dunia. Fenomena El Nino tahun 2023 berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya.
“Hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es oleh BMKG bersama Ohio State University, Amerika Serikat, pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif terjadi. Pada tahun 2010 ketika riset ini mulai, ketebalan es mencapai 32 meter,” kata Dwikorita dikutip dari situs resmi BMKG.
Dwikorita mengemukakan, seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es mencapai satu meter per tahun. Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, fenomena El Nino melanda Indonesia, di mana suhu permukaan menjadi lebih hangat.
Akibat fenomena ini, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun. Sementara pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti.
Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. BMKG perkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter. “Tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 Km,” ungkapnya.
Menurut Dwikorita, kepunahan salju abadi di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi. Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Untuk itu, Dwikorita memandang penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi yang dilakukan.
“Mitigasi ini tentu tidak bisa hanya segelintir orang kerjakan. Butuh kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan,” ujarnya.
Adapun caranya dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim. Selain itu, perlunya perkuat kerja sama lintas sektor dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia.
“Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, merupakan bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan. Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan,” kata Dwikorita menambahkan. *** (Achmad Syaiful)